Cerpen: "Persemaian Jiwa Anin"

Kilau indah matahari menyeruak lancip menembus celah-celah dinding rumah Anin, menerobos masuk kedalamnya seolah bermaksud ingin merombak kepedihan dan keletihan yang ada. Terlihat jelas sesosok wanita tua dengan sebongkok sapu lidi di tangannya. Kulit kisutnya yang kini rusak diterjang zaman membuat wanita itu semakin terlihat menua. “Srrkkk.. Srkkk..” bunyi sapu lidi yang sejak tadi digunakannya. Gemetar badan yang terlihat menggigil bagai tertimbun bongkahan es kini terlihat semakin nyata. Kerapuhan genggamannya sudah tidak terabaikan lagi, ternyata semua telah berubah. Semua tak seperti dulu lagi. Anin kecil yang dulu selalu ditimang dan ditidurkannya sekarang sudah menjadi dewasa. Ia tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik sekarang. Tergambar jelas di pikiran wanita tua itu siapa Anin kecilnya dulu. Ketika ia harus semalaman menenangkan Anin kecil yang tengah menangis, ketika seharian harus bergelut dengan lumpur di sawah untuk mencukupi kebutuhannya dan Anin. Namun waktu telah merombak semua itu menjadi kehidupan baru sekarang. Anin yang dulu hanya membutuhkan susu sekarang sudah mengerti banyak hal. Namun, ada satu yang tidak berubah, ia tetap sama, tetap santun seperti yang dulu. Memang susah mencari gadis santun santun seperti Anin di era seperti sekarang ini. Ya, namun begitulah Anin.
            “Assalamualaikum ibu, Anin pulang” Teriak gadis cantik dengan suara nyaring yang baru saja masuk rumah tua dan langsung memeluk ibunya. “Anin. Oh syukurlah, darimana saja kamu, nak?” tanya ibu seperti biasanya dengan nada halus meluluhkan. “Aku baru saja mengambil ijazahku di sekolah, bu! Dan aku mendapat predikat peringkat 33 dari 34 siswa ibu. Hebatkan Anin?” Dengan wajah yang tetap tersenyum ibu Anin menjawab, “Iya, kamu hebat nak. Ibu selalu bangga denganmu bagaimanapun keadaanmu. Kau tetaplah Anin yang ibu kenal dulu”. Gadis bernama Anindhi Wirastuti ini memang cantik, namun banyak dugaan yang menyatakan bahwa ia terkena gangguan mental dari kecil. Entah karena apa dia seperti itu, yang jelas ibunya sangat menyayanginya dan merwatnya dengan penuh kasih sayang sedari dulu.
            Menurut ibunya, Anin tetaplah Anin. Tak ada yang berubah darinya. Anak semata wayang yang dibesarkannya seorang diri semenjak 10 tahun lalu kini sudah tumbuh sebagai gadis yang cantik dan anggun. Namun saat itu pula seolah ada yang berubah dari Anin. Entah pidato dari mana  yang baru saja ia dengarkan di sekolah tadi. Yang jelas, otaknya sangat panas memikirkan hal ini hingga kepanasan itulah yang menciptakan sebuah tekat yang sangat kuat.
Suasana hening sejanak. “Ibu, izinkan aku pergi ke kota, bu!” Pinta Anin tiba-tiba dengan mata berbinar. “Untuk apa nak? Bahkan kau saja belum pernah pergi ke kota sebelumnya, Aku tidak akan membiarkanmu pergi ke kota dan bertemu preman-preman yang telah membunuh ayahmu. Kau ini masih gadis belia yang baru saja lulus SMA! Kau tidak mempunyai pengalaman apapun”. “Sudahlah bu, biarkan aku pergi ke kota. Besok aku akan mengemasi barangku dan pergi”. Sontak layaknya perasaan semua ibu, ibu Anin sangat sedih memikirkan anak semata wayangnya yang sudah berani menentangnya. Gadis kecil yang dari dulu bahkan belum pernah membuatnya bersedih, sekarang bahkan membuat air matanya seakan terkuras habis. Kucuran air mata tak terbendung,  entah badai apa yang telah menyambar Ibu Anin sehingga matanya terlihat sangat sembam. Lima menit berlalu, sekarang Ibunda Anin sudah benar-benar melupakan kehancuran hatinya, yang dia ingat Anin adalah seorang yang jauh dari kata pintar. Bahkan, pemikirannya pun sangat aneh, tidak jarang orang desa menganggap Anin mengalami gangguan jiwa.
Malam telah beranjak pergi meninggalkan secerca harapan  Ibunda Anin bahwa Anin akan memupuskan keinginannya itu. Burung mulai menyanyi syahdu seakan ingin membuat Anin tetap bertahan di sini. Namun semua salah, kaki Anin tetap sama, tidak menghentikan langkahnya sama sekali, terus menyusuri pematang sawah tanpa menghiraukan isak tangis ibundanya. Langkah demi langkah, meter demi meter, mil demi mil, mulai menjauh dari rumahnya. Bayangan gubuk kecil dimana ia dibesarkan kini telah memudar, entah setan apa yang merasuki tubuh Anin saat itu. Tak sedetik pun ia menatap wajah ibunya sebelum ia pergi. Ya, mungkin karena dia tahu dia akan gagal pergi jika melihat air mata ibunya yang menetes. Dibalik itu semua, tak lupa Anin menitipkan ibundanya ke rumah emaknya (sapaan akrab Anin untuk bu lik atau tantenya) dan tak lupa berjanji untuk pulang kembali ketika semua sudah membaik. Emaknya sempat bingung dengan perkataan Anin yang memang jarang sekali orang yang dapat mengartikannya. Tak jauh beda dari Ibu Anin, bu lik dan pak lik Anin juga sempat menentang keras kepergian Anin. Namun apalah daya, takdir memang takdir. Keputusan Anin sudah bulat, dan tidak ada seorang pun yang dapat menahannya untuk tetap bertahan disini. Grusak-grusuk omongan tetangga sampailah juga terngiang di telinga Ibunda Anin. Sedih memang mendengar anak kesayangannya dipergunjingkan banyak orang di desa. Kepergian Anin meninggalkan bekas yang mendalam untuk ibunya. Siang hingga malam tak henti Ibunda Anin mendoakan anak yang ia sayangi agar secepatnya pulang seiring terbit dan tenggelamnya  matahari.
Bertahan dua hari di mobil box milik tetangga desa tanpa makan membuat seorang Anin mengerti bahwa hidup ini begitu menantang. Mungkin tekat yang begitu besar yang membawanya sampai disini, di kota.  Sekarang Anin telah sampai di kota. Dibukanya dompet di tas sekolah berwarna merah jambu itu dan ‘blarr’ Anin tercengang sejenak. Diambilnya satu-satunya lembaran uang yang ada di dalam tas. Ternyata, ia hanya memiliki uang sebanyak Rp.10.000,- “Ah sudahlah” pikirnya. Toh yang ia butuhkan saat ini juga uang.
Sementara di desa ibunya tetap dengan keadaan yang sama. Tatapan kosong Ibunda Anin menjadi pemandangan rutin hari-hari bu lik Anin. Rasa sepi yang mendalam merasuki jiwanya yang sepi tak berpenghuni. Bagaimana tidak, semenjak ditinggal pergi suaminya, hanya Anin yang menemaninya setiap waktu, hanya Anin pelipur lara serta penghapus rasa letihnya.
Empat tahun berlalu. Kesepian Ibu Anin mungkin sekarang telah berubah menjadi ramai dan mungkin kerumunan para warga sudah biasa dilihatnya. Ibu Anin sakit keras dan belum pernah dibawa berobat karena keterbatasan biaya yang dimiliki oleh bu lik dan pak liknya. Biarpun bilik kamar Ibu Anin semakin rama dikunjungi banyak orang, namun hatinya tetap kosong. Mutiara hatinya telah pergi meninggalkan ia sendiri dan seolah sudah benar-benar melupakannya. Wajah terakhir Anin yang hanya ia ingat. Wajah merah berbalut amarah serta keinginan menentang jelas tersirat. Gunjingan serta cacian tetangga membuat hati Ibu Anin semakin sakit. Banyak orang bilang bahwa Anin sudah menjadi orang tidak benar di kota. Namun Ibu Anin yang tak bisa mengelak senantias mendoakan kebaikan untuk anaknya dan agar ia lekas pulang merawat ibunya kembali.
Di kota, udara tak sesegar di desa. Pagi itu terasa sangat aneh bagi Anin. Mungkin ada sesosok malaikat yang memberitahunya untuk pulang karena pada saat itu Anin benar-benar merindukan keadaan ibundanya. Di perjalanan menuju tempat kerjanya, Anin mengamati berbagai gedung yang ada di kota. Dan ia baru tersadar bahwa ia sangat merindukan kampung halamannya. Debu jalanan ibu kota tak sempat melekat bahkan selalu tergelincir jika hendak merasakan kelembutan rambut gadis cantik pemilik hotel serta rumah makan di ibu kota. Anin sudah sangat berubah. Bahkan ia seperti terlahir menjadi sosok baru. Mata lusuh dan sayu dulu, sekarang sudah menjadi mata bulat bening bersoftlense hitam berbaur hijau. Rambut yang dulunya selalu terikat ikal sekarang selalu terurai dan pernah menjajaki berbagai model dari salon-salon ternama dan berbagai perancang model rambut internasional. Gadis kecil lusuh dan udik sekarang sudah menjadi orang dewasa yang sangat modern dan memperhatikan penampilan.
Malam berlalu, keesokan harinya sopir Anin menjalakankan mobilnya hendak mengantar majikannya ke bandar udara untuk menuju desanya. Anin telah kembali, tak heran jika sesampainya di desa warga kampung berhamburan keluar rumah ingin menyaksikan siapa gadis paruh baya yang cantik dan kaya hingga sanggup menyewa taksi hingga masuk ke pelosok desa seperti itu. Tak ingin melewatkan kesempatan itu, bu lik dan pak lik Anin juga turut keluar melihat sosok cantik yang terlihat dari kaca taksi yang dibiarkan terbuka menganga seolah ingin menikamti udara di desa itu. Ibu Anin yang berada di dalam kamar pun mendengar keramaian itu, namun tak sanggup untuk mengangkat tubuhnya turun dari tempat tidur.
Dan tanpa disadari pandangan warga semakin mendekat ke rumah bu lik Anin, dan mereka pun tercengang. Siapa sosok di dalam taksi itu? Tidak mungkin jika sanak saudara keluarga besar bu lik Anin. Karena mereka semua mempunyai kondisi yang jauh dari kata cukup. Para warga sempat berfikir bahwa wanita itu adalah istri dari laki-laki selingkuhan Anin yang akan melabrak dan menghabisi keluarga Anin. Tak heran warga berfikiran seperti itu karena Anin memang dikabarkan menjadi wanita jalang di kota dikarenakan pemikirannya yang tidak  wajar dan mudah saja untuk ditipu.
Wanita itu turun dari taksi dan membayar taksi itu dengan tumpukan uang yang mungkin jarang sekali dimiliki warga desa seperti itu. Mata warga tercengang dan terus mengikuti langkah wanita cantik berbalut baju mahal yang biasanya dipakai orang kota dan kaya. Langkah demi langkah warga saksikan dengan seksama dan setslah beberapa langkah, ternyata benar wanita itu menghentikan langkahnya tepat di depan rumah Mariyati bu lik Anin. “Ada apa nona? Siapa anda dan apa maksud yang mendorong Anda mengunjungi desa kumuh yang akan melecetkan sepatu Anda ini?” sambut Maryati di depan rumah dengan nada terbata dan merendah. “Bolehkah saya masuk?” Jawab Anin singkat. “Silahkan tapi......” seola tak membiarkan Maryati meneruskan ucapannya, wanita itu langsung masuk ke dalam satu-satunya bilik kamar yang ditempati Ibunda Anin.
Hatinya begitu hancur bagai disayat ratusan pisau tajam melihat Ibunda tercintanya terbaring lemah di tempat tidur tanpa kasur dan hanya dilapisi karpet dari pandan yang sudah sangat terlihat lusuh. Ya benar, wanita yang menghampiri Ibunda Anin adalah anaknya sendiri, Anin. Sejenak membiarkan air dimatanya menetes bagai air sungai yang sedang meluap. Bullik, pak lik, serta warga yang mengikutinya sempat bingung. Namun, mau dikata bagaimana perasaan seorang ibu tetaplah perasaan seorang ibu. Meski tak percaya, namun ibunda Anin tetap merasa bahwa wanita itu adalah Anin. Ingin memeluk tapi tak kuasa hingga Anin sendiri yang memeluk ibu kesayangannya. Warga tetap saja menebak-nebak siapakah wanita itu. Dan hingga pada akhirnya mereka semua tahu bahwa wanita cantik itu adalah Anin. “Maafkan aku bu, maaf” ucap Anin yang tidak rela melepaskan dekapan ibunya. “Iya nak tidak apa. Ibu tahu kau tidak akan berubah seperti yang diceritakan warga desa”. Sahut Ibu Anin dengan semakin mengeratkan dekapannya.
Sebenarnya selama ini Anin berjuang mati-matian untuk merih cita-citanya di kota. Ia berjuang untuk mendapatkan beasiswa penuh demi tidak memberatkan ibunya. Tiga hari makan sekali mungkin sudah biasa baginya. Pemikiran anehnya serasa lenyap dimakan waktu. Dugaan penyakit gangguan jiwa yang sering ditujukan padanya ternyata salah, Anin sebenarnya sangat jenius namun hanya saja dia tidak dapat mengungkapkan kejeniusannya hingga tak jarang orang menganggapnya aneh dan tidak paham apa yang dia inginkan. Tidak heran jika dia sebenarnya adalah gadis yang sangat pintar namun tidak dapat ia kembangkan di desa. Hingga pada akhirnya ia dapat menyelesaikan studinya tanpa harus membayar sepeser pun. Gunjingan para warga telah biasa ia dengarkan, seakan lenyap dan sekarang berganti dengan sikap para warga yang memujanya bagai ratu yang baru masuk kedesa kumuh mereka. Semua ini terasa aneh namun ini yang sedari dulu ia inginkan.
Anin langsung mengajak Ibu, bu lik, dan pak liknya ke kota sehingga tidak hidup susah terus-menerus seperti di desa. Sekarang pemikiran para wara benar-benar berubah. Mereka tidak ingin lagi berburuk sangka serta memandang sebelah mata kekurangan seseorang tanpa memperdulikan kelebihannya.

Bojonegoro, 16 September 2014
Penulis: Mona Widya Anggraini

Komentar