Catatan Harian: "Sepintas dalam Keramaian"


Sejenak aku memikirkanmu dalam ramai.

Ingin aku ceritakan semua yang aku lihat. Seluruh sudut kota ini, mengandung nilai historis pada kisah-kisah yang semesta tulis. Kota yang yang menjadi saksi nyata revolusi dunia. Kota yang senjanya dibenci, sebab ramai yang tak berujung sepi.

Di setiap gaduhnya jalanan pada waktu petang, sepintas terbayang seseorang mengulurkan tangan dari atas motor, tersenyum mengajakku menerjang kemacetan. Mengelilingi kota sampai larut malam, menikmati akustikan pinggir jalan, menghangatkan diri di angkringan. 

Melambungkan harapan kepada lampion yang terbang. Dan mensyukuri hidup setiap melihat sudut sisi kota yang gelap. Entah pikiran apa yang terbesit di kepalaku, bahwa aku ingin menikmati kota ini bersamamu sebagaimana aku sangat menikmatinya.

Aku terkadang bingung menceritakan apa yang aku lihat, pada orang yang aku sendiri tidak tahu ia akan menerimaku atau tidak. Tapi bingung tak boleh merenggut senyum siapa saja. Aku tetap bahagia, menatap jendela mobil sambil memicingkan mata menolak cahaya matahari yang menerobos begitu saja. 

Semua berjalan normal, layaknya aku yang pernah bingung bagaimana cara menaiki sepeda roda dua. Apakah harus kukayuh terlebih dulu pedalnya, atau menaikkan kaki kedua-duanya.

Aku jatuh, terluka pada lutut dan tumit, namun tetap tertawa. Sekejam-kejamnya bumi melukai, lebih kejam diri sendiri yang terus menjebakkan diri dalam dilema yang tak pasti.


Jakarta, 29 Februari 2020.
Mona Widya Anggraini.

Komentar